Peristiwa

Refleksi 18 Tahun Perdamaian Aceh, Ini Pernyataan G23

390
×

Refleksi 18 Tahun Perdamaian Aceh, Ini Pernyataan G23

Sebarkan artikel ini
IMG 20230815 WA0057

LHOKSEUMAWE, LIPUTAN7.ID – Dalam momentum refleksi 18 tahun, Perdamaian Aceh (pasca-penandatangan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam), Gerakan Tahun 2023 (G23) mengingatkan Pemerintah Aceh agar tidak “membiarkan” permasalahan kemiskinan di Tanah Rencong terjadi.

Demikian diungkap langsung oleh Presidium G23, Isbahannur, saat konferensi pers di Lhokseumawe, Senin, (15/08/2023).

“Mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak menjalankan program pemiskinan dan pembodohan struktural di Aceh melalui program-program yang tidak menyentuh akar persoalan di masyarakat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial,” Tutur Isbahannur

Ia menilai realisasi perdamaian Aceh melalui perjanjian damai yang dikemas MoU Helsinki, telah gagal diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan tidak adanya political will dari para pihak dalam konsensus kesepakatan damai yang telah disepakati di Helsinki.

“Ini dapat dilihat dari implementasi butir-butir MoU Helsinki yang secara hukum positif telah menjelma menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Banyak klausul pasal yang tidak direalisasi, terutama menyangkut penyelenggaraan kesejahteraan rakyat Aceh,” ujar Isbahannur turut didampingi Sekjen G23, Zulfahmi, dan anggotanya.

G23 juga melihat Pemerintah Aceh dan DPRA terkesan tidak peduli terhadap korban pelanggaran HAM di Aceh melalui lembaga KKR Aceh yang telah diberi mandat untuk menyelenggarakan proses rekonsilisasi, reparasi, dan rehabilitasi korban.

“Penyelenggaraan KKR Aceh dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi korban konflik dan atau korban pelanggaran HAM yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah Aceh harus segera mengevaluasi lembaga KKR Aceh, karena kami nilai tidak memiliki kompetensi dalam menjalankan tupoksi sesuai amanah Qanun KKR Aceh yang telah dibentuk,” cetus Isbahannur.

Menurut Isbahannur, Rumoh Geudong idealnya dijadikan tempat destinasi sejarah pelanggaran HAM berat di Aceh guna menjadi pengingat untuk generasi selanjutnya, agar tidak terulang peristiwa di masa depan. Namun, malah dijadikan sebagai destinasi wisata yang tidak memiliki nilai apapun dalam konteks ini.

“Hal ini mengindikasikan adanya upaya pelenyapan memori dan bukti sejarah pelanggaran HAM berat di masa lalu. Seharusnya upaya nonyudisial tidak serta merta dibarengi dengan menghilangkan situs sejarah yang patut dipugar demi merawat ingatan agar peristiwa serupa tidak terulang. Untuk itu, kami menolak upaya Pemerintah pusat melaksanakan hal tersebut,” tutur Isbahannur.

Isbahannur menambahkan empat rapor merah yang diperoleh Aceh dari pusat dalam hal kemiskinan, pengangguran, stunting, dan inflasi seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi. “Kalau tidak mampu memimpin Aceh sebaiknya mundur secara kesatria. Bukan malah ‘keukeuh’ ingin terus berkuasa demi kepentingan oligarki,” ucapnya.

G23 merekomendasikan kepada rakyat Aceh untuk bersatu “turun gunung” membuat gerakan berbasis sebagai wadah berekspresi. “Untuk melawan kebijakan merugikan kita semua rakyat Aceh,” pungkas Isbahannur.