SUMUT,LIPUTAN7.ID – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput), Provinsi Sumatera Utara, tengah menuai polemik. Selain dugaan penyimpangan dan indikasi korupsi, proyek ini juga memicu keluhan dari masyarakat setempat, khususnya para petani yang merasa dirugikan oleh tindakan oknum-oknum pelaksana proyek di lapangan. Aksi protes dari warga semakin mengalir seiring berjalannya waktu, menuntut pertanggungjawaban pihak terkait.
Salah satu dugaan utama yang mencuat adalah bahwa pembangunan PLTA ini dilakukan tanpa izin yang sah. Perusahaan yang bertanggung jawab atas proyek tersebut diduga tidak mematuhi prosedur dan peraturan yang berlaku. Selain itu, terdapat dugaan penggunaan material batu ilegal yang langsung diambil dari lokasi proyek, serta upaya monopoli terhadap hasil bumi masyarakat sekitar.
Dokumen yang diperoleh media ini mengungkapkan bahwa Direktur Utama PT. Sumatera Pembangkit Mandiri (PT. SPM), yang beralamat di Desa Lumban Tonga, Kecamatan Pahae Julu, sudah dua kali dipanggil oleh Polda Sumatera Utara untuk memberikan klarifikasi terkait dugaan pelanggaran. Pihak berwajib sedang menyelidiki tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban pajak yang tidak dilaporkan dengan benar, pencemaran lingkungan hidup, dan pemalsuan dokumen sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta KUHPidana.
Di lapangan, masyarakat mengeluhkan dampak proyek ini terhadap hasil pertanian mereka. Petani yang menggantungkan hidupnya dari bertani, kini terpaksa menghadapi kenyataan pahit. Puluhan hektar sawah tidak bisa lagi ditanami karena air yang seharusnya mengalir ke lahan mereka terhalang oleh pembangunan PLTA. Mereka meminta agar pihak kontraktor dan pemerintah lebih peduli terhadap nasib mereka. “Kami berharap kontraktor dan pemerintah bisa lebih bertanggung jawab. Kami masyarakat kecil merasa dirugikan,” kata seorang petani yang diwawancarai.
Selain mengganggu kehidupan pertanian, proyek PLTA ini juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem sungai Batang Toru. Warga menyesalkan perubahan aliran air sungai yang dilakukan oleh pihak perusahaan tanpa sosialisasi yang jelas kepada masyarakat. Dampak dari tindakan ini berpotensi merusak kehidupan ikan dan lingkungan sekitar. Masyarakat pun meragukan kelayakan proyek ini, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang tidak jelas.
Terkait pembebasan lahan, banyak masyarakat yang mengeluh karena belum mendapatkan pembayaran ganti rugi yang adil. Beberapa warga yang telah menyerahkan tanah mereka untuk proyek ini mengaku hanya menerima sejumlah uang yang bervariasi, mulai dari Rp 80.000 per meter hingga Rp 1.000.000 per meter, yang dianggap sangat tidak setara dengan nilai tanah mereka. Bahkan, sebagian besar surat perjanjian yang disepakati antara masyarakat dan perusahaan kini hanya tinggal janji, karena kontraktor sudah tidak terlihat lagi dan diduga telah kabur.
Warga setempat juga mempertanyakan apakah pembangunan proyek ini dimulai dengan persetujuan yang sah dari masyarakat. Mereka menilai bahwa pihak yang terlibat dalam proyek ini adalah bagian dari praktik mafia, yang diduga memanfaatkan ketidakjelasan izin dan peraturan untuk meraup keuntungan pribadi. Masyarakat meminta pihak berwajib untuk segera menindaklanjuti masalah ini dan memastikan bahwa ganti rugi serta pengelolaan lingkungan dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.
Dengan terus berkembangnya aksi protes dan semakin banyaknya keluhan dari masyarakat, Polda Sumut diharapkan dapat segera mengusut tuntas dugaan penyimpangan dalam proyek PLTA Pahae Julu ini. Masyarakat berharap agar hak-hak mereka dipenuhi dan lingkungan sekitar dapat dilindungi demi kelangsungan hidup mereka dan generasi mendatang.
Ikuti Saluran WhatsApp Channel liputan7.id